Minggu, 23 Januari 2011

Masih Ada Senja (A One Shot Fan Fiction Story)

DISCLAIMER:
tulisan berikut ini hanyalah cerita fiksi yang tidak betul-betul terjadi. Nama tokoh yang digunakan adalah nama para (mantan) peserta salah satu talent show di salah satu TV swasta berlambang burung garuda. Hope you enjoy the story :)

***

I kept everything inside and even though I tried, it all fell apart
What it meant to me will eventually be a memory of a time when I tried so hard
And got so far
But in the end
It doesn't even matter
I had to fall
To lose it all
But in the end
It doesn't even matter
(In the End – Linkin Park)

Kakiku terasa semakin berat. Seperti tarikan nafasku di dada yang semakin sesak. Ujung tangga itu semakin dekat, tinggal beberapa anak tangga lagi.

Empat…
Tiga..
Dua…
Satu…

Disinilah aku. Di ujung tangga. Mungkin ujung hidupku. Fhhht… Aku menggigit bibir. Pintu itu sudah di depanku. Membisu, tapi seolah tertawa mengejek, menantang keberanianku untuk menjalankan rencanaku. Ah, rencana itu… Bahkan memikirkannya saja membuatku merasakan bulu-bulu halus di tengkukku mulai berdiri tegak.

Aku menarik nafas panjang. Sudahlah, untuk apa terus ragu-ragu? Segala sesuatu toh memiliki akhir kan? Dan untukku, aku memilih akhir milikku sendiri.

Kenop pintu itu terasa dingin di genggamanku. Dengan sedikit bunyi berderik pintu itu mengayun membuka. Dan langit senja yang merona dalam jingga menyambutku, dengan tiupan angin yang terasa lebih kencang di atas sini. Dua belas tingkat di bawah sana, hidup masih berjalan seperti biasa.

Aku menutup mataku, menikmati hembusan angin yang membelai pipiku dan memeluk tubuhku. Aku tersenyum pahit. Betapa hangatnya pelukan angin ini saat rasa dingin seakan telah menjadi sahabat bagi hatiku.

Langkah kakiku sedikit gemetar ketika mendekati tepi atap gedung kampus ini. Pandanganku tiba-tiba sedikit kabur. Tiba-tiba saja rasa sesak itu menyeruak kembali, berkejaran dengan isakan yang terus kutahan sambil terus melangkah. Dan tiba-tiba saja, aku hanya berjarak dua langkah dari tepian atap.

Aku mematung. Pandanganku jatuh jauh ke bawah sana. Deretan kendaraan yang terparkir di halaman kampus ini. Titik-titik manusia yang bergerak acak, seakan mengejar sesuatu. Entah apa. Ah, mereka masih lebih beruntung, mereka masih memiliki…apapun yang mereka miliki saat ini. Sementara aku? Apa sih yang masih tersisa untuk aku genggam, untuk sekedar aku jadikan milikku?

Yang tersisa untuk kumiliki hanyalah tarikan nafasku ini. Itupun mungkin tak lagi banyak, karena aku telah memilih.

Kugerakkan kakiku, tak sampai satu langkah. Tiba-tiba saja kedua kakiku terasa begitu berat, seakan tak setuju dengan apa yang kini tengah berputar di benakku.

“Eh, jangan berdiri di situ bisa gak?”

Aku urung bergerak maju mendengar suara tadi. Dengan satu gerakan aku berputar. Di depanku berdiri seorang laki-laki muda yang tengah menatapku dengan ekspresi yang tak tertebak. Tangan kanannya tersembunyi di dalam saku jeans birunya, sementara tangan kirinya menimang kamera DSLR. Di tali kamera tersebut yang masih menggantung di lehernya tercetak merek kamera yang dia timang itu.

Aku melipat kedua tanganku dengan defensif di depan dada. “Kenapa?”

“Lo ngalangin pemandangan. View yang pengen gua ambil jadi ketutup elo…” sahutnya santai, membuatku ternganga.

Sebentar, sebentar…. Kalau di novel-novel romantis, seharusnya adegan ini adalah adegan dimana laki-laki tadi seharusnya mencegahku untuk melompat dari gedung ini. Tapi apa yang dia bilang tadi? Aku menghalangi pemandangan?

“Eh, malah bengong. Udah sana., geseran dikit bisa kali…” katanya lagi, kali ini dengan nada sedikit tidak sabar. Seakan menegaskan ucapannya, dia menggerak-gerakkan tangan kanannya, memberi isyarat agar aku bergeser ke kanan.

Masih sedikit kaget, aku menuruti kata-katanya.

“Yaelah, ngegeser segitu doang. Masih in frame woi!”

“Hah?”

Kali ini dia mendecak kesal. “In frame! Lo nya masih masuk nih! Geser lagi ah.. rada jauh dikit… ya..gitu, nah, ya. Pas, elonya udah gak muncul. Gitu kek dari tadi, disuruh ngegeser doang susah amat…” serunya dari balik kamera.

Lalu seakan sudah lupa bahwa aku ada disana, dia sudah asyik dengan kameranya. Menekan tombol berkali-kali untuk mengambil gambar. Bahkan dari sini aku bisa mendengar suara jepretan kameranya.

Aku berdehem kecil. Dia tidak mengacuhkan, Entah tidak mendengar, entah tidak peduli. Masih asyik dengan kameranya itu. Bahkan kali ini dia duduk bersila untuk mengambil foto.

“EHEM!” aku mendehem lebih keras. Berhasil. Laki-laki itu menurunkan kameranya untuk memandangku. Ada pertanyaan di wajahnya dari keningnya yang berkerut.

“Apa?”

Mendengar pertanyaannya, aku malah jadi bingung sendiri. Tadinya aku ingin bertanya kenapa dia tidak menghentikan niatku. Tapi sepertinya pertanyaan itu terlalu aneh.

“Apaan woi?” dia kembali bertanya.

“Eh…elo… umm…” aku kembali kebingungan menyusun kata-kata.

“Apaan? Gak kedengeran… Elo nya sinian dikit deh, biar gua dengernya jelas…” katanya lagi. Aku menurut. Mendekat ke arahnya beberapa langkah, meskipun sedikit malu.

“Lo..gak… berniat menghalangi gua, apa gimanaaa….gitu kek?” tanyaku akhirnya. Pertanyaan yang terdengar aneh, bahkan di telingaku sendiri.

“Lah? Emang tadinya lo mau ngapain?” katanya. Kerutan di keningnya muncul kembali.
Aku terdiam. Ragu untuk menjawab.

“Lo mau loncat ke bawah? Mau bunuh diri?” katanya. Entah sudah bisa menduga, atau asal menebak. Bukannya menjawab, aku hanya bis amenunduk, memandangi permukaan kasar semen abu-abu yang kupijak. Mendadak merasa betapa absurdnya keputusanku tadi.

“Jangan disini…” kata-katanya kembali membuatku terkejut. Dan aku lebih terkejut lagi saat mengangkat wajah, dan dia sudah kembali asyik dengan kameranya itu.

“Hah?”

“Gua bilang, jangan disini. Atau kalo emang lo udah niat banget pengen bunuh diri disini, ntaran aja ya… habis gua selesai. Paling setengah jam lagi deh…” katanya lagi.

“Lah? kok gitu?”

Dia kembali memandangku, menipiskan bibirnya sebelum menjawab. “Kalo lo bunuh diri sekarang, saat ini, pas gua masih ada disini, yang ada malah gua yang bakalan ditanya-tanya. Lebih parah lagi, malah nanti gua yang disangka mendorong elo sampe jatuh…”

“Oh…” aku tidak bisa memikirkan kata-kata lain untuk diucapkan. Dia pun sepertinya tidak menunggu jawabanku. Sekarang dia nampak asyik melihat-lihat hasil jepretannya tadi di layar berukuran kecil yang ada di kameranya. Dan aku hanya bisa menatapnya, merasa menjadi orang paling bodoh sedunia yang terjebak dalam situasi yang begitu aneh bagiku.

“Eh.. eh…cewek, eh, siapa sih nama lo?” tanyanya tiba-tiba sambil mengangkat wajah. Kali ini ada senyuman cerah di wajahnya.

“Shilla” jawabku pendek.

“Oh. Ya, Shilla, sini deh… liat deh, langitnya warnanya bagus banget lho…” katanya sambil menggerakkan tangannya lagi, mengisyaratkan aku untuk ikut melihat isi kameranya. Seakan terbius, aku malah mengikuti ajakannya. Mendekati dirinya, dan ikut duduk di sebelahnya. Ikut melihat sejumlah hasil jepretannya. Dan dia tidak bohong, rekaman jejak warna senja yang merona dalam berbagai nuansa jingga membuatku terpana.

“Bagus yah…” katanya setelah beberapa lama kami hanya sama-sama diam, memandangi foto-foto yang ada di kameranya.

Aku mengangguk. “Pinter juga lo ngambilnya” komentarku.

“Ya dong, Rio….” Katanya dengan nada bangga.

“Oh, nama lo Rio?”

Dia mengangguk. “Sebenernya bisa lebih bagus lagi, kadang-kadang kalo beruntung habis hujan gitu, pelanginya bisa muncul, dan bisa ikut difoto juga.. Atau ini kan warnanya masih yang dominan jingga gitu kan? Kalau matahari terbit, kadang-kadang malah ungu lembut. Cantik banget langitnya…” katanya lagi.

“Oh ya?”

“Iya, tapi lo kayaknya gak bakalan sempet liat lagi deh…” katanya dengan santai, memencet sejumlah tombol lagi di kamera itu.

“Maksud?”

Rio mengangkat bahu, lalu menoleh ke arahku. “Bukannya lo tadi mau bunuh diri? Artinya kan elo besok udah gak ada, gak bisa liat matahari terbit lagi, gak bisa liat pelangi, apalagi bintang jatuh…”

Wajahku langsung terasa membara. Tidak hanya malu, tapi juga kali ini bercampur kesal. Kenapa dia malah mengucapkan hal-hal seperti itu? Bukankah seharusnya dia menyemangatiku, mencegahku melompat, atau apa lah….

“Kok elo malah gitu sih?” protesku.

“Gitu gimana?” Rio balik bertanya. Tidak lagi memandang ke arahku, malah mengeluarkan netbook dari ransel yang ada di sebelahnya dan kabel data.

“Ya… apa kek, mestinya kan lo mencegah gua atau apa kek, berusaha nyemangatin gua kek…” jawabku.

Dia hanya mengangkat alis, masih sambil berkutat dengan netbook, kabel data dan kameranya.
“Lah, emang ngaruh?”

“Ngaruh gimana?”

“Orang-orang kayak elo nih, yang pengen bunuh diri, biasanya suka sok-sokan kalo mereka udah gak semangat hidup lah, terlalu banyak beban hidup lah, gak punya alasan untuk hidup lah…”

“Orang kan punya alasannya masing-masing!” seruku, kali ini dengan nada sedikit gemas. Apalagi melihat ekspresi wajahnya yang datar saja, tanpa ada tersirat kekhawatiran sedikit pun.

“Ya udah deh, alasan elo apa?”

“Alasan apaan?”

Rio memutar bola matanya, lalu mendesah panjang sambil menengadah ke atas. “Ya alasan lo pengen bunuh diri lah…”

Nah, ini dia. Pertanyaan yang dari tadi aku tunggu-tunggu… Dan meluncurlah semua cerita itu dari mulutku. Tentang orang tua ku yang selalu membandingkan aku dengan Kak Angel. Tentang sindiran Ibu bahwa seharusnya aku nanti memilih Fakultas Kedokteran seperti Kak Angel, bukannya Fakultas Teknik seperti yang aku inginkan. Tentang Ify, Zahra dan Acha, sahabat-sahabatku yang semakin menjauh dan seakan tidak mau lagi peduli dengan keluh kesahku. Dan tentang Alvin. Alvin yang malah lebih memilih Sivia, setelah dua tahun kami lalui bersama-sama sebagai sepasang kekasih. Padahal Sivia itu sahabatku sendiri! Ralat, mantan sahabat.

Selama aku bercerita, Rio tidak menanggapi, malah sibuk sendiri dengan netbook dan kameranya. Hanya beberapa kata “Oh.. gitu…” dan beberapa anggukan kecil darinya yang menandakan dia masih mendengarkanku. Sekedar mendengarkan. Aku pun tidak peduli, entah kenapa, aku hanya ingin meluapkan semua yang ada di hatiku saat ini. Meskipun pendengarku satu-satunya saat ini adalah si-laki-laki-sok-cuek-yang-berlagak-sebagai-fotografer yang tengah duduk bersila di sebelahku, dengan sebuah netbook di pangkuannya.

“Gimana gak capek hidup kalo kayak gini terus coba?”

“Oh, gitu…” katanya, entah untuk yang keberapa kalinya.

“Woi! Rio! Lo sebenernya dengerin gua gak sih?”

Rio menoleh, melipat kedua tangannya di depan dada. “Jadi kalo gua ambil kesimpulan nih, lo bosen hidup karena lo merasa kedua orang tua lo terlalu memaksakan keinginan mereka ke elo. Lalu lo ngiri sama kakak lo..”

“Eh, siapa yang ngiri! Gua cuma males aja dibanding-bandingin sama dia terus…”

“Ya udah deh, gua ganti. Lo ngerasa terbebani punya kakak yang terlalu sempurna. Terus lo ngerasa temen-temen lo menjauh. Dan terakhir, cowok lo selingkuh sama sahabat lo sendiri.” Seakan-akan membuat suatu daftar, Rio mengacungkan jarinya satu per satu setiap dia menyebutkan masalah-masalah yang aku ceritakan padanya tadi.

“Ngerti kan kenapa gua ngerasa kayaknya hidup gua useless banget?”

‘Yah, intinya lo punya empat alasan untuk bunuh diri kan ya?” katanya sambil menggerak-gerakkan keempat jarinya.

“Padahal, kalo mau dipikir nih, lo ngerasa punya empat alasan buat mengakhiri hidup elo. Terus, lo punya berapa alasan untuk nerusin hidup elo?”

“Emang gua masih punya alasan buat hidup?” sahutku dengan pahit.

Rio mengangkat bahu. “Yah, lo kan belum sempet liat pelangi dari atas gedung sini, seperti yang gua bilang tadi. Itu udah jadi satu alasan. Tambahin dengan pengen liat bintang jatuh dan matahari terbit, itu udah jadi tiga alasan. Terus lo belum sempet nyari cowok yang lebih baik dari si Alvin tadi untuk nunjukin bahwa dia yang rugi karena mutusin elo. Terus elo baru dua bulan ini naik kelas 3 SMA, dan lo bahkan belum ngerasain lulus SMA kan? Jadi lo belum ngerasain serunya jadi mahasiswa. Dan secara gua udah dua tahun jadi mahasiswa, percaya deh, lo bakal ngerasain pengalaman yang beda banget sama masa SMA elo.”

Aku terdiam. Benar juga kata-katanya tadi.

“Trus lagi, yang paling penting menurut gua nih, lo belum sempet nunjukin ke orang tua lo kalo lo juga bisa bikin mereka bangga…” tambahnya.

Aku memandanginya, lalu sedikit mencibir. “Kalo soal yang itu, gua gak yakin deh…”

“Gak yakin gimana?”

“Soal bikin orang tua gua bangga…”

“Lah, kenapa enggak?”

Aku mengangkat bahu, memilih untuk memandangi bola merah yang semakin tergelincir di batas cakrawala.

“Toh udah ada Kak Angel, mereka udah punya Kak Angel untuk bikin mereka bangga…” sahutku kering.

“Dan mereka juga punya elo sebagai anak mereka…” tukasnya pendek.

Aku tertawa pahit. “Halah. Gua kayak yang dianggap anak deh. Milih jurusan aja mesti sama kayak Ka Angel.”

“Lo maunya Arsitektur…?”

Aku mengangguk, “Tapi ya gitu, kayak yang gua bilang tadi, mereka pengennya gua masuk Kedokteran, sama kayak Kak Angel..”

“Lo kenapa gak mau masuk Kedokteran? Kan keren tuh jadi dokter…”

“Lo gak usah ikut-ikutan orang tua gua deeehh…”

“Eh, gua nanya beneraaaan.. Lo emang gak pengen jadi dokter?”

Aku menggeleng. “Gak pengen. Gua gak kuat liat darah. Terus, gua juga panikan. Kalo liat orang kesakitan, gua malah jadi panik sendiri. Yang ada malah nanti pasiennya yang nenangin gua…”
Rio tertawa mendengar kalimatku tadi. Terserah lah, aku tidak peduli.

“Lagian gua juga nyadar diri, gua gak terlalu suka pelajaran Biologi. Males banget ngafalin nama latin. Atau jumlah ruas tulang punggung manusia. Atau ada berapa jumlah bilik di jantung…”

“Trus, lo mau masuk Arsitektur aja?”

“Gua dari dulu suka gambar-gambar gitu. Dan gua suka kagum aja kalo liat gedung bagus. Gedung yang gak cuma kotak-kotak kayak kotak korek api. Gua pengen bikin bangunan yang cantik, kayak istana Versailles. Atau gedung yang bikin kita inget legenda zaman dulu, kayak Shrine of Remembrance di Melbourne…”

“Trus, lo udah ngomong ke orang tua elo soal semua ini? Soal kenapa elo gak mau ke Kedokteran, dan pengen masuk arsitektur aja?”

Aku tercenung sesaat. Mengingat-ingat sejumlah pertengkaran antara aku dan Mama.
“Nggak sih… Gua cuma bilang kalo gua gak pengen disamain kayak Kak Angel…”

“Halah. Pantesan aja. Ya ortu lo pasti nganggep alasan kayak gitu gak rasional… Coba kalo lo ngomong alasan-alasan lo yang tadi lo omongin ke gua..”

“Kok elo malah nyalahin gua sih?” kataku kesal, menatap matanya yang tengah memandangiku.

“Lo ngerasa salah gak?”

Aku kembali terdiam.

“Gua gak nyalahin elo. Gua cuma nunjukin dimana terjadinya salah paham antara lo sama nyokap lo…”

Aku menarik kedua lututku dan melingkarkan kedua tanganku untuk memeluknya. “Jadi menurut lo, mestinya gua ngomong kayak gitu ke Mama?”

“Kalo gua bilang, kalo lo ngomong kayak gitu, situasinya mungkin bakal beda. Paling gak bokap nyokap lo jadi tau alasan yang sebenernya…”

Aku menumpukan daguku di lutut, menggigit-gigit bibir sambil mempertimbangkan ucapannya tadi.

“Iya juga kali ya…”

“Kan? Elo sih belum apa-apa udah liat masalah ini dari sudut pandang lo sendiri aja. Ini baru masalah lo sama orang tua lo. Belum lagi masalah lo sama kakak elo, sama temen-temen elo, sama mantan cowok lo…” kata Rio lagi, yang sudah kembali asyik mengutak-atik netbooknya.

“Maksud lo?”

“Kalo bunuh diri sekarang, lo kehilangan kesempatan untuk melihat masalah yang lo hadapi dari sudut pandang orang lain, dan otomatis, lo kehilangan kesempatan untuk memperbaiki masalah itu…”

Aku semakin mematung dalam diamku. Membiarkan kata-katanya tadi meresap.

“Lagian, untuk setiap satu alasan buat lo untuk mengakhiri hidup, ada seribu alasan untuk tetap bertahan hidup…” tambahnya.

Kalimat terakhirnya tadi membuatku tersentak, aku menoleh. Yang kudapati adalah sosoknya yang masih menatap layar netbook di pangkuannya dengan serius.

Aku mendesah. Aneh memang. Aku baru sekali ini bertemu dengan laki-laki yang mengaku bernama Rio ini. Tapi entah kenapa, semua keluhanku tadi mengalir dengan lancar di hadapan dia. Jangan-jangan, dia malaikat yang diutus Tuhan untuk mencegahku melompat? Apakah ini tandanya Tuhan masih sayang padaku? Terdorong rasa penasaran, aku melirik ke punggungnya. Siapa tahu ada sayap disana.

“Ntar ya…” katanya tiba-tiba. Sedikit kaget, dan bingung, aku bertanya.

“Sebentar apaan?”

“Ntar lagi gua kelar, terus ntar gua turun, pulang… Baru lo lompat. Terjun. Ke bawah sana.”

“Hah?”

Rio menghentikan gerakan tangannya di touch pad netbooknya, dan memandangku.
“Lah, katanya tadi mau bunuh diri. Kan gua udah bilang, lo kalo mau bunuh diri ntar aja, kalo gua udah jauh dari sini…”

“Ah, sialan lo…” tukasku kesal.

Rio mengangkat alis. “Eh, jadi… ceritanya lo gak jadi bunuh diri nih? Bagus lah kalo gitu…”

Aku menarik nafas dan menghembuskannya keras-keras. “Tauk lah! Bingung gua…”

“Masih pengen bunuh diri? Kenapa lagi?”

“Nggak sih, cuma…gua ngerasa kalo gua adalah orang paling sial di dunia ini..” jawabku perlahan. Diam-diam berharap mendapatkan simpati darinya.

Mendengar kata-kataku tadi, Rio malah berdecak kesal. “Lo gak sehebat itu kali…!”

Apa? Tanggapan macam apa itu?

“Hebat apaan? Apa hebatnya jadi orang sial hah?” seruku, semakin kesal. Kesal karena merasa diremehkan, sekaligus mungkin..kesal karena untuk yang kesekian kali, gagal mendapatkan simpati darinya.

Mendengar nada tinggi dalam suaraku, Rio menatapku. “Lo tau ga, ada lebih dari 6 milyar manusia di dunia ini. Jadi untuk bisa jadi orang paling sial nomer satu di dunia, lo mesti bersaing dengan 6 milyar orang lain. Lo yakin kesialan lo sehebat itu sampai bisa mengalahkan orang sebanyak itu?”

Aku ternganga mendengar jawabannya. “Logika lo aneh!”.

“Aneh, tapi bener kan?” tantangnya.

Aku melengos, membuang muka . Nafasku sedikit tersengal akibat perdebatan aneh ini. Dalam hati aku mengakui, dia benar. Dan aku benci kalau dia benar. Karena aku merasa terkalahkan.

“Lo gak tau sih rasanya jadi gua…” sahutku defensif.

“Emang…” jawabnya dengan santai. Jawaban yang membuatku kembali penasaran.

Belum sempat aku menanggapinya, Rio sudah menyambung kata-katanya. “Gua gak tau rasanya jadi elo, sama seperti lo gak tau rasanya jadi orang tua lo. Lo gak tau kan rasanya mendengar seseorang yang sebenernya lo sayangin menolak apa yang lo pikir adalah yang paling baik?”. Rio berhenti sesaat untuk menarik nafas, lalu menyambung kembali. “Lo juga pasti bakal bilang kalo kakak lo ga bakal ngerti rasanya jadi elo yang selalu dibanding-bandingin sama dia. Sama seperti lo yang juga gak bakal ngerti, bahwa mungkin kakak elo juga sering ngerasa capek kalo harus dijadikan panutan terus-terusan?”

Aku mati kutu mendengar kata-katanya. Karena aku tahu, bahwa mungkin Rio benar. Oke, dia memang benar. Kan? Aku sudah bilang, aku benci kalau dia benar.

“Lo tau kampus ini darimana?” tanyanya tiba-tiba.

“Hah? Oh. Kakak gua kan kuliahnya disini….”

“Oh, sealmamater sama gua dong. Gua juga kuliahnya disini…”

“Oh gitu? Fakultas apa?”

“Hukum…” sahutnya pendek, lalu bertanya lagi. “Jadi lo sering maen kesini?”
“Gak juga sih. Eh, ya..gitu. Kadang-kadang. Kadang-kadang Kak Angel suka minta dijemput sama gua.”

“Tau Mang Ony? Yang suka jaga parkir di gerbang depan?”

Aku mengerutkan kening. Sekilas wajah ramah yang sering kali kulewati di gerbang depan kalau aku harus menjemput Kak Angel muncul di benakku. “Umm… Tau kali ya…Mungkin kalo liat mukanya gua tau…”. Jawabku sedikit ragu. Dalam hati, aku heran sendiri. Kenapa si Rio yang ternyata mahasiswa Hukum ini mudah sekali mengalihkan topik pembicaraan?

“Lo tau gak kalo dia punya anak yang autis?”

Aku membelalakkan mata. Lalu menggeleng cepat.

“Nah, jadi lo juga gak tau rasanya kan gimana jadi Mang Ony, yang penghasilannya cuma dari jaga parkir, padahal dia masih punya tanggungan dua anak, salah satunya autis pula. Sementara istrinya kerja jadi TKI di Malaysia, padahal ibunya yang lumpuh karena stroke itu tinggal serumah sama dia …”

Kini tidak hanya mataku yang membelalak. Mulutku pun membuka semakin lebar. “Kasian ya…” desisku perlahan.

“Lebih kasian mana sama lo yang tadi ngerasa kalo lo adalah orang paling sial sedunia?”

Deuh. Kenapa sih anak sialan ini paling jago membuatku tak berkutik dengan kata-katanya yang terlalu tepat pada sasaran?

Aku memutuskan untuk tidak menjawab. Hanya mampu menunduk, memandangi ujung sepatu putihku. Tiba-tiba aku ingat, sepatu ini dari Mama. Yang dia berikan tanpa alasan apa-apa, seminggu setelah aku iseng menunjuk sepatu itu di etelase saat kami berjalan-jalan di mall. Dalam sekejap, perasaan rindu pada Mama membuncah di dadaku. Menyesakkan, mengiring tangis yang tiba-tiba tercekat di tenggorokanku.

Rio pun sepertinya tidak menunggu jawabanku. “Tapi yang pasti, dengan nasibnya, yang elo tahu jawabannya adalah lebih kasian daripada elo, Mang Ony gak pernah terpikir untuk loncat dari gedung. Atau minum baygon. Atau gantung diri di pohon beringin…” katanya sambil menutup layar netbooknya.

Sungguh, aku betul-betul benci kalau dia benar. Membuatku semakin tersudut dalam kesadaran bahwa aku memang salah. Dan dia benar.

Sesaat hening di antara kami. Dia yang sibuk membereskan netbooknya untuk dimasukkan ke dalam ransel tadi, dan aku yang tenggelam dalam lamunanku sendiri.

“Eh, bintangnya udah mulai muncul….” Ucapannya menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangkat wajah untuk memandang langit yang mulai kelam. Langit Jakarta mungkin telah banyak diracuni polusi, tapi toh, sejumlah bintang tetap nampak berkerlip ceria.
Aku tidak sanggup berkata-kata. Entah kenapa, dari atas sini, langit terlihat begitu luas, tak berbatas.

“Langitnya cantik ya?’ katanya perlahan.

Aku tidak menyahut, aku malah berdiri, dan berjalan perlahan mendekati ujung atap gedung itu. Dua langkah dari tepian atap, aku berhenti. Memejamkan mata, menikmati setiap tarikan nafas yang entah mengapa, kini terasa begitu lega. Kini sesak itu tak lagi berupa siksa, melainkan hanya rasa rindu. Pada Mama, Papa, dan Kak Angel. Pada Ify, Zahra, dan Acha, sahabat-sahabatku.

Ada bening yang perlahan terbit dari sudut mataku, perlahan menyusuri wajahku yang terasa sejuk oleh hembusan angin. Aku berbalik, Rio masih berada di tempatnya tadi. Kini dia telah berdiri, ranselnya tergantung di pundak kirinya, sementara tangan kanannya masih memegangi kamera. Ada senyum tipis di wajahnya.

“Rio…” panggilku. Dia hanya mengangkat alis.

“Makasih…” kataku perlahan.

Rio mengangguk kecil. “Gua pulang dulu…” ujarnya sambil membenahi tali ransel di pundaknya. Aku mengangguk, membalas senyumnya.

Dia berbalik, melangkah pergi. Aku memandangi punggungnya bergerak menjauh bersama langkahnya. Belum sampai lima langkah dia bergerak, Rio berhenti. Dia lalu berbalik.

“Shilla!”

“Ya?”

“Lo dianugerahi Tuhan kehidupan di dunia ini pasti karena untuk suatu alasan. Saat ini lo mungkin belum tahu pasti apa alasan itu. Tapi yang pasti, bukan untuk mengakhiri hidup elo dengan cara yang sok dramatis kayak loncat dari atap gedung ini…” katanya, diiringi sebuah senyuman. “Lo akan bisa mendapatkan apa yang terbaik dalam hidup ini, jika lo berusaha melakukan yang terbaik yang bisa elo lakukan.”

Aku tertawa kecil.

“Thanks…” jawabku, yang dibalasnya dengan sebuah anggukan. Aku terus memandangi dirinya saat dia berbalik, melangkah pergi, hingga akhirnya menghilang di balik pintu menuju tangga.

Aku mendesah, memeluk tubuhku sendiri dengan kedua tangan, menikmati damainya angin yang terasa halus menyelimuti diriku. Aku mendongak, dan tersenyum. Aku yakin, Tuhan pun di atas sana sedang balas tersenyum ke arahku.

“Terima kasih Tuhan…” bisikku perlahan.

Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Aku berjalan dengan langkah ringan ke arah pintu yang tadi kulewati untuk sampai kesini. Aku ingin pulang. Aku ingin memeluk Mama. Aku ingin menyapa Papa. Aku ingin bercerita pada Kak Angel. Aku ingin menelepon sahabat-sahabatku.

Aku.. ingin minta maaf pada mereka semua. Dan memberi tahu mereka bahwa aku menyayangi mereka., Aku bukanlah orang yang paling sial sedunia. Sebaliknya, aku adalah orang yang paling beruntung sedunia, karena aku masih memiliki mereka. Mama, Papa, Kak Angel, dan sahabat-sahabatku.

***
Sedikit ragu, aku melangkahkan kaki menaiki tangga menuju pintu masuk galeri ini. Aku sendiri sebenarnya tidak tahu pasti kenapa akhirnya aku memutuskan datang ke sini. Mungkin lebih karena terdorong rasa penasaran. Tadi malam, Kak Angel menyodorkan sebuah amplop putih padaku, sambil bercerita, bahwa siangnya ada yang mencegat dirinya di depan pintu masuk Fakultas Kedokteran. Laki-laki yang mencegatnya itu bertanya apakah benar dia yang bernama Angel. Begitu Kak Angel mengiyakan, laki-laki itu menyerahakan sebuah amplop putih polos. Diiringi pesan singkat, agar Angel menyerahkan amplop itu padaku. Belum sempat Kak Angel bertanya lebih banyak, laki-laki itu sudah pergi begitu saja. Kak Angel pun sama bingungnya dengan aku ketika aku membuka amplop itu dan menemukan sebuah brosur dari kertas mengkilat, berisikan informasi mengenai pameran fotografi.

Jadi, disinilah aku sekarang. Di galeri seni seperti yang ada di brosur yang sekarang ada di genggamanku.

“Silakan Mbak…” sapaan ramah seorang gadis penerima tamu menyambut kehadiranku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kecil, dan melangkahkan kaki masuk.

Begitu mengedarkan pandangan, aku terkagum-kagum sendiri. Brosur yang kudapat menyatakan bahwa pameran itu merupakan pameran hasil karya mahasiswa, tapi hasil karya yang dipajang semuanya jelas merupakan hasil seni fotografi yang patut diperhitungkan.

Perlahan aku menyusuri galeri itu, ikut berbaur dengan pengunjung lain yang menikmati setiap foto yang dipajang. Terkadang aku berhenti sejenak, membaca keterangan yang ditempel di bawah setiap foto. Beberapa keterangan teknis yang tidak terlalu aku pahami, dan nama si fotografer.

Langkahku membawaku hingga ke salah satu foto yang terletak nyaris di ujung barisan. Begitu aku memandang foto itu, nafasku tercekat.

Sebuah foto yang indah. Didominasi pemandangan langit kelam, dengan sejumlah titik cahaya di langit itu. Di pojok kanan, berdiri seorang gadis, agak menyamping, dengan rambut yang terurai halus hingga melewati bahu. Gadis itu tengah sedikit menengadah, memandang langit yang terlihat begitu luas. Wajah gadis itu tidak nampak jelas. Tapi aku bisa mengenali gadis itu. Aku bisa mengenali sepatu putih yang dikenakan gadis itu.Aku bisa mengenali dress kuning lembut yang dikenakan gadis itu, dengan ujung yang nampak sedikit berkibar oleh angin. Aku bisa mengenali diriku sendiri di foto itu. Tanpa sadar, aku menangkupkan sebelah tangan di bibir.

Pandanganku jatuh pada tulisan berwarna putih di sudut kiri foto itu. Nampak cukup kontras dengan warna abu-abu tua semen yang aku ingat adalah tempatku berpijak di atap gedung itu. Perlahan, aku membaca kalimat yang terulis disana.

Meskipun bintang mungkin telah lelah menari
Masih ada senja yang bisa dinanti
Sebagai alasan untuk tetap bertahan…

Rasa haru menyelimutiku. Mataku terasa panas, dengan degupan jantung yang tiba-tiba terasa tidak beraturan. Tiba-tiba saja kenangan akan kejadian sebulan yang lalu itu berputar kembali di benakku. Saat-saat dimana aku merasa hidup tak lagi berarti. Saat aku nyaris mengambil sebuah keputusan bodoh. Aku membungkuk untuk membaca nama fotografer dari foto ini.

Mario Stevano. Hmm.. mungkinkah Rio berasal dari kata Mario itu?

Aku nyaris tertawa sendiri, mengingat betapa terkejutnya diriku ketika mendapati ada orang lain di atap gedung itu. Sekarang aku jadi merasa geli, begitu ingat betapa kesalnya aku waktu itu, ketika mendapati bahwa bukannya bersimpati, Rio malah bersikap tidak peduli. Tapi justru Rio dan gayanya yang tidak peduli itu, dengan kata-katanya yang simpel, yang justru membuat aku sadar bahwa aku punya lebih banyak hal untuk disyukuri daripada untuk disesali.

“Jadi akhirnya lo gak jadi loncat?”

Suara tadi mengejutkanku. Aku menegakkan tubuh, dengan malu menoleh ke arah pemilik suara itu. Rio menatapku dengan sebuah senyuman kecil, ada kilatan jahil di matanya. Entah kenapa, melihat kembali wajah itu membuat degupan jantungku seperti menari.

“Nggak, nggak jadi…” jawabku pelan, sambil merasakan aliran panas yang merambat dengan cepat dari telinga dan menyebar hingga ke seluruh wajahku.

“Kenapa?”

Aku tertawa kecil, lalu menyahut, “Gua masih pengen liat pelangi, dan kalo beruntung, pengen liat bintang jatuh dari atap gedung…”

Rio ikut tertawa. "Gua besok sore mau motret lagi. Mau motret sunset di pantai. Who knows ada bintang jatuh. Mau ikut?”

Aku mengangguk. “Kalaupun belum ada bintang jatuh, masih ada ribuan alasan kan buat gua untuk menunggu bintang jatuh datang?”

***
But when the night is falling
And you cannot find the light
If you feel your dream is dying
Hold tight
You've got the music in you
Don't let go
You've got the music in you
One dance left
This world is gonna pull through
Don't give up
You've got a reason to live
Can't forget you only get what you give
(You Get What You Give - New Radical)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Minggu, 23 Januari 2011

Masih Ada Senja (A One Shot Fan Fiction Story)

DISCLAIMER:
tulisan berikut ini hanyalah cerita fiksi yang tidak betul-betul terjadi. Nama tokoh yang digunakan adalah nama para (mantan) peserta salah satu talent show di salah satu TV swasta berlambang burung garuda. Hope you enjoy the story :)

***

I kept everything inside and even though I tried, it all fell apart
What it meant to me will eventually be a memory of a time when I tried so hard
And got so far
But in the end
It doesn't even matter
I had to fall
To lose it all
But in the end
It doesn't even matter
(In the End – Linkin Park)

Kakiku terasa semakin berat. Seperti tarikan nafasku di dada yang semakin sesak. Ujung tangga itu semakin dekat, tinggal beberapa anak tangga lagi.

Empat…
Tiga..
Dua…
Satu…

Disinilah aku. Di ujung tangga. Mungkin ujung hidupku. Fhhht… Aku menggigit bibir. Pintu itu sudah di depanku. Membisu, tapi seolah tertawa mengejek, menantang keberanianku untuk menjalankan rencanaku. Ah, rencana itu… Bahkan memikirkannya saja membuatku merasakan bulu-bulu halus di tengkukku mulai berdiri tegak.

Aku menarik nafas panjang. Sudahlah, untuk apa terus ragu-ragu? Segala sesuatu toh memiliki akhir kan? Dan untukku, aku memilih akhir milikku sendiri.

Kenop pintu itu terasa dingin di genggamanku. Dengan sedikit bunyi berderik pintu itu mengayun membuka. Dan langit senja yang merona dalam jingga menyambutku, dengan tiupan angin yang terasa lebih kencang di atas sini. Dua belas tingkat di bawah sana, hidup masih berjalan seperti biasa.

Aku menutup mataku, menikmati hembusan angin yang membelai pipiku dan memeluk tubuhku. Aku tersenyum pahit. Betapa hangatnya pelukan angin ini saat rasa dingin seakan telah menjadi sahabat bagi hatiku.

Langkah kakiku sedikit gemetar ketika mendekati tepi atap gedung kampus ini. Pandanganku tiba-tiba sedikit kabur. Tiba-tiba saja rasa sesak itu menyeruak kembali, berkejaran dengan isakan yang terus kutahan sambil terus melangkah. Dan tiba-tiba saja, aku hanya berjarak dua langkah dari tepian atap.

Aku mematung. Pandanganku jatuh jauh ke bawah sana. Deretan kendaraan yang terparkir di halaman kampus ini. Titik-titik manusia yang bergerak acak, seakan mengejar sesuatu. Entah apa. Ah, mereka masih lebih beruntung, mereka masih memiliki…apapun yang mereka miliki saat ini. Sementara aku? Apa sih yang masih tersisa untuk aku genggam, untuk sekedar aku jadikan milikku?

Yang tersisa untuk kumiliki hanyalah tarikan nafasku ini. Itupun mungkin tak lagi banyak, karena aku telah memilih.

Kugerakkan kakiku, tak sampai satu langkah. Tiba-tiba saja kedua kakiku terasa begitu berat, seakan tak setuju dengan apa yang kini tengah berputar di benakku.

“Eh, jangan berdiri di situ bisa gak?”

Aku urung bergerak maju mendengar suara tadi. Dengan satu gerakan aku berputar. Di depanku berdiri seorang laki-laki muda yang tengah menatapku dengan ekspresi yang tak tertebak. Tangan kanannya tersembunyi di dalam saku jeans birunya, sementara tangan kirinya menimang kamera DSLR. Di tali kamera tersebut yang masih menggantung di lehernya tercetak merek kamera yang dia timang itu.

Aku melipat kedua tanganku dengan defensif di depan dada. “Kenapa?”

“Lo ngalangin pemandangan. View yang pengen gua ambil jadi ketutup elo…” sahutnya santai, membuatku ternganga.

Sebentar, sebentar…. Kalau di novel-novel romantis, seharusnya adegan ini adalah adegan dimana laki-laki tadi seharusnya mencegahku untuk melompat dari gedung ini. Tapi apa yang dia bilang tadi? Aku menghalangi pemandangan?

“Eh, malah bengong. Udah sana., geseran dikit bisa kali…” katanya lagi, kali ini dengan nada sedikit tidak sabar. Seakan menegaskan ucapannya, dia menggerak-gerakkan tangan kanannya, memberi isyarat agar aku bergeser ke kanan.

Masih sedikit kaget, aku menuruti kata-katanya.

“Yaelah, ngegeser segitu doang. Masih in frame woi!”

“Hah?”

Kali ini dia mendecak kesal. “In frame! Lo nya masih masuk nih! Geser lagi ah.. rada jauh dikit… ya..gitu, nah, ya. Pas, elonya udah gak muncul. Gitu kek dari tadi, disuruh ngegeser doang susah amat…” serunya dari balik kamera.

Lalu seakan sudah lupa bahwa aku ada disana, dia sudah asyik dengan kameranya. Menekan tombol berkali-kali untuk mengambil gambar. Bahkan dari sini aku bisa mendengar suara jepretan kameranya.

Aku berdehem kecil. Dia tidak mengacuhkan, Entah tidak mendengar, entah tidak peduli. Masih asyik dengan kameranya itu. Bahkan kali ini dia duduk bersila untuk mengambil foto.

“EHEM!” aku mendehem lebih keras. Berhasil. Laki-laki itu menurunkan kameranya untuk memandangku. Ada pertanyaan di wajahnya dari keningnya yang berkerut.

“Apa?”

Mendengar pertanyaannya, aku malah jadi bingung sendiri. Tadinya aku ingin bertanya kenapa dia tidak menghentikan niatku. Tapi sepertinya pertanyaan itu terlalu aneh.

“Apaan woi?” dia kembali bertanya.

“Eh…elo… umm…” aku kembali kebingungan menyusun kata-kata.

“Apaan? Gak kedengeran… Elo nya sinian dikit deh, biar gua dengernya jelas…” katanya lagi. Aku menurut. Mendekat ke arahnya beberapa langkah, meskipun sedikit malu.

“Lo..gak… berniat menghalangi gua, apa gimanaaa….gitu kek?” tanyaku akhirnya. Pertanyaan yang terdengar aneh, bahkan di telingaku sendiri.

“Lah? Emang tadinya lo mau ngapain?” katanya. Kerutan di keningnya muncul kembali.
Aku terdiam. Ragu untuk menjawab.

“Lo mau loncat ke bawah? Mau bunuh diri?” katanya. Entah sudah bisa menduga, atau asal menebak. Bukannya menjawab, aku hanya bis amenunduk, memandangi permukaan kasar semen abu-abu yang kupijak. Mendadak merasa betapa absurdnya keputusanku tadi.

“Jangan disini…” kata-katanya kembali membuatku terkejut. Dan aku lebih terkejut lagi saat mengangkat wajah, dan dia sudah kembali asyik dengan kameranya itu.

“Hah?”

“Gua bilang, jangan disini. Atau kalo emang lo udah niat banget pengen bunuh diri disini, ntaran aja ya… habis gua selesai. Paling setengah jam lagi deh…” katanya lagi.

“Lah? kok gitu?”

Dia kembali memandangku, menipiskan bibirnya sebelum menjawab. “Kalo lo bunuh diri sekarang, saat ini, pas gua masih ada disini, yang ada malah gua yang bakalan ditanya-tanya. Lebih parah lagi, malah nanti gua yang disangka mendorong elo sampe jatuh…”

“Oh…” aku tidak bisa memikirkan kata-kata lain untuk diucapkan. Dia pun sepertinya tidak menunggu jawabanku. Sekarang dia nampak asyik melihat-lihat hasil jepretannya tadi di layar berukuran kecil yang ada di kameranya. Dan aku hanya bisa menatapnya, merasa menjadi orang paling bodoh sedunia yang terjebak dalam situasi yang begitu aneh bagiku.

“Eh.. eh…cewek, eh, siapa sih nama lo?” tanyanya tiba-tiba sambil mengangkat wajah. Kali ini ada senyuman cerah di wajahnya.

“Shilla” jawabku pendek.

“Oh. Ya, Shilla, sini deh… liat deh, langitnya warnanya bagus banget lho…” katanya sambil menggerakkan tangannya lagi, mengisyaratkan aku untuk ikut melihat isi kameranya. Seakan terbius, aku malah mengikuti ajakannya. Mendekati dirinya, dan ikut duduk di sebelahnya. Ikut melihat sejumlah hasil jepretannya. Dan dia tidak bohong, rekaman jejak warna senja yang merona dalam berbagai nuansa jingga membuatku terpana.

“Bagus yah…” katanya setelah beberapa lama kami hanya sama-sama diam, memandangi foto-foto yang ada di kameranya.

Aku mengangguk. “Pinter juga lo ngambilnya” komentarku.

“Ya dong, Rio….” Katanya dengan nada bangga.

“Oh, nama lo Rio?”

Dia mengangguk. “Sebenernya bisa lebih bagus lagi, kadang-kadang kalo beruntung habis hujan gitu, pelanginya bisa muncul, dan bisa ikut difoto juga.. Atau ini kan warnanya masih yang dominan jingga gitu kan? Kalau matahari terbit, kadang-kadang malah ungu lembut. Cantik banget langitnya…” katanya lagi.

“Oh ya?”

“Iya, tapi lo kayaknya gak bakalan sempet liat lagi deh…” katanya dengan santai, memencet sejumlah tombol lagi di kamera itu.

“Maksud?”

Rio mengangkat bahu, lalu menoleh ke arahku. “Bukannya lo tadi mau bunuh diri? Artinya kan elo besok udah gak ada, gak bisa liat matahari terbit lagi, gak bisa liat pelangi, apalagi bintang jatuh…”

Wajahku langsung terasa membara. Tidak hanya malu, tapi juga kali ini bercampur kesal. Kenapa dia malah mengucapkan hal-hal seperti itu? Bukankah seharusnya dia menyemangatiku, mencegahku melompat, atau apa lah….

“Kok elo malah gitu sih?” protesku.

“Gitu gimana?” Rio balik bertanya. Tidak lagi memandang ke arahku, malah mengeluarkan netbook dari ransel yang ada di sebelahnya dan kabel data.

“Ya… apa kek, mestinya kan lo mencegah gua atau apa kek, berusaha nyemangatin gua kek…” jawabku.

Dia hanya mengangkat alis, masih sambil berkutat dengan netbook, kabel data dan kameranya.
“Lah, emang ngaruh?”

“Ngaruh gimana?”

“Orang-orang kayak elo nih, yang pengen bunuh diri, biasanya suka sok-sokan kalo mereka udah gak semangat hidup lah, terlalu banyak beban hidup lah, gak punya alasan untuk hidup lah…”

“Orang kan punya alasannya masing-masing!” seruku, kali ini dengan nada sedikit gemas. Apalagi melihat ekspresi wajahnya yang datar saja, tanpa ada tersirat kekhawatiran sedikit pun.

“Ya udah deh, alasan elo apa?”

“Alasan apaan?”

Rio memutar bola matanya, lalu mendesah panjang sambil menengadah ke atas. “Ya alasan lo pengen bunuh diri lah…”

Nah, ini dia. Pertanyaan yang dari tadi aku tunggu-tunggu… Dan meluncurlah semua cerita itu dari mulutku. Tentang orang tua ku yang selalu membandingkan aku dengan Kak Angel. Tentang sindiran Ibu bahwa seharusnya aku nanti memilih Fakultas Kedokteran seperti Kak Angel, bukannya Fakultas Teknik seperti yang aku inginkan. Tentang Ify, Zahra dan Acha, sahabat-sahabatku yang semakin menjauh dan seakan tidak mau lagi peduli dengan keluh kesahku. Dan tentang Alvin. Alvin yang malah lebih memilih Sivia, setelah dua tahun kami lalui bersama-sama sebagai sepasang kekasih. Padahal Sivia itu sahabatku sendiri! Ralat, mantan sahabat.

Selama aku bercerita, Rio tidak menanggapi, malah sibuk sendiri dengan netbook dan kameranya. Hanya beberapa kata “Oh.. gitu…” dan beberapa anggukan kecil darinya yang menandakan dia masih mendengarkanku. Sekedar mendengarkan. Aku pun tidak peduli, entah kenapa, aku hanya ingin meluapkan semua yang ada di hatiku saat ini. Meskipun pendengarku satu-satunya saat ini adalah si-laki-laki-sok-cuek-yang-berlagak-sebagai-fotografer yang tengah duduk bersila di sebelahku, dengan sebuah netbook di pangkuannya.

“Gimana gak capek hidup kalo kayak gini terus coba?”

“Oh, gitu…” katanya, entah untuk yang keberapa kalinya.

“Woi! Rio! Lo sebenernya dengerin gua gak sih?”

Rio menoleh, melipat kedua tangannya di depan dada. “Jadi kalo gua ambil kesimpulan nih, lo bosen hidup karena lo merasa kedua orang tua lo terlalu memaksakan keinginan mereka ke elo. Lalu lo ngiri sama kakak lo..”

“Eh, siapa yang ngiri! Gua cuma males aja dibanding-bandingin sama dia terus…”

“Ya udah deh, gua ganti. Lo ngerasa terbebani punya kakak yang terlalu sempurna. Terus lo ngerasa temen-temen lo menjauh. Dan terakhir, cowok lo selingkuh sama sahabat lo sendiri.” Seakan-akan membuat suatu daftar, Rio mengacungkan jarinya satu per satu setiap dia menyebutkan masalah-masalah yang aku ceritakan padanya tadi.

“Ngerti kan kenapa gua ngerasa kayaknya hidup gua useless banget?”

‘Yah, intinya lo punya empat alasan untuk bunuh diri kan ya?” katanya sambil menggerak-gerakkan keempat jarinya.

“Padahal, kalo mau dipikir nih, lo ngerasa punya empat alasan buat mengakhiri hidup elo. Terus, lo punya berapa alasan untuk nerusin hidup elo?”

“Emang gua masih punya alasan buat hidup?” sahutku dengan pahit.

Rio mengangkat bahu. “Yah, lo kan belum sempet liat pelangi dari atas gedung sini, seperti yang gua bilang tadi. Itu udah jadi satu alasan. Tambahin dengan pengen liat bintang jatuh dan matahari terbit, itu udah jadi tiga alasan. Terus lo belum sempet nyari cowok yang lebih baik dari si Alvin tadi untuk nunjukin bahwa dia yang rugi karena mutusin elo. Terus elo baru dua bulan ini naik kelas 3 SMA, dan lo bahkan belum ngerasain lulus SMA kan? Jadi lo belum ngerasain serunya jadi mahasiswa. Dan secara gua udah dua tahun jadi mahasiswa, percaya deh, lo bakal ngerasain pengalaman yang beda banget sama masa SMA elo.”

Aku terdiam. Benar juga kata-katanya tadi.

“Trus lagi, yang paling penting menurut gua nih, lo belum sempet nunjukin ke orang tua lo kalo lo juga bisa bikin mereka bangga…” tambahnya.

Aku memandanginya, lalu sedikit mencibir. “Kalo soal yang itu, gua gak yakin deh…”

“Gak yakin gimana?”

“Soal bikin orang tua gua bangga…”

“Lah, kenapa enggak?”

Aku mengangkat bahu, memilih untuk memandangi bola merah yang semakin tergelincir di batas cakrawala.

“Toh udah ada Kak Angel, mereka udah punya Kak Angel untuk bikin mereka bangga…” sahutku kering.

“Dan mereka juga punya elo sebagai anak mereka…” tukasnya pendek.

Aku tertawa pahit. “Halah. Gua kayak yang dianggap anak deh. Milih jurusan aja mesti sama kayak Ka Angel.”

“Lo maunya Arsitektur…?”

Aku mengangguk, “Tapi ya gitu, kayak yang gua bilang tadi, mereka pengennya gua masuk Kedokteran, sama kayak Kak Angel..”

“Lo kenapa gak mau masuk Kedokteran? Kan keren tuh jadi dokter…”

“Lo gak usah ikut-ikutan orang tua gua deeehh…”

“Eh, gua nanya beneraaaan.. Lo emang gak pengen jadi dokter?”

Aku menggeleng. “Gak pengen. Gua gak kuat liat darah. Terus, gua juga panikan. Kalo liat orang kesakitan, gua malah jadi panik sendiri. Yang ada malah nanti pasiennya yang nenangin gua…”
Rio tertawa mendengar kalimatku tadi. Terserah lah, aku tidak peduli.

“Lagian gua juga nyadar diri, gua gak terlalu suka pelajaran Biologi. Males banget ngafalin nama latin. Atau jumlah ruas tulang punggung manusia. Atau ada berapa jumlah bilik di jantung…”

“Trus, lo mau masuk Arsitektur aja?”

“Gua dari dulu suka gambar-gambar gitu. Dan gua suka kagum aja kalo liat gedung bagus. Gedung yang gak cuma kotak-kotak kayak kotak korek api. Gua pengen bikin bangunan yang cantik, kayak istana Versailles. Atau gedung yang bikin kita inget legenda zaman dulu, kayak Shrine of Remembrance di Melbourne…”

“Trus, lo udah ngomong ke orang tua elo soal semua ini? Soal kenapa elo gak mau ke Kedokteran, dan pengen masuk arsitektur aja?”

Aku tercenung sesaat. Mengingat-ingat sejumlah pertengkaran antara aku dan Mama.
“Nggak sih… Gua cuma bilang kalo gua gak pengen disamain kayak Kak Angel…”

“Halah. Pantesan aja. Ya ortu lo pasti nganggep alasan kayak gitu gak rasional… Coba kalo lo ngomong alasan-alasan lo yang tadi lo omongin ke gua..”

“Kok elo malah nyalahin gua sih?” kataku kesal, menatap matanya yang tengah memandangiku.

“Lo ngerasa salah gak?”

Aku kembali terdiam.

“Gua gak nyalahin elo. Gua cuma nunjukin dimana terjadinya salah paham antara lo sama nyokap lo…”

Aku menarik kedua lututku dan melingkarkan kedua tanganku untuk memeluknya. “Jadi menurut lo, mestinya gua ngomong kayak gitu ke Mama?”

“Kalo gua bilang, kalo lo ngomong kayak gitu, situasinya mungkin bakal beda. Paling gak bokap nyokap lo jadi tau alasan yang sebenernya…”

Aku menumpukan daguku di lutut, menggigit-gigit bibir sambil mempertimbangkan ucapannya tadi.

“Iya juga kali ya…”

“Kan? Elo sih belum apa-apa udah liat masalah ini dari sudut pandang lo sendiri aja. Ini baru masalah lo sama orang tua lo. Belum lagi masalah lo sama kakak elo, sama temen-temen elo, sama mantan cowok lo…” kata Rio lagi, yang sudah kembali asyik mengutak-atik netbooknya.

“Maksud lo?”

“Kalo bunuh diri sekarang, lo kehilangan kesempatan untuk melihat masalah yang lo hadapi dari sudut pandang orang lain, dan otomatis, lo kehilangan kesempatan untuk memperbaiki masalah itu…”

Aku semakin mematung dalam diamku. Membiarkan kata-katanya tadi meresap.

“Lagian, untuk setiap satu alasan buat lo untuk mengakhiri hidup, ada seribu alasan untuk tetap bertahan hidup…” tambahnya.

Kalimat terakhirnya tadi membuatku tersentak, aku menoleh. Yang kudapati adalah sosoknya yang masih menatap layar netbook di pangkuannya dengan serius.

Aku mendesah. Aneh memang. Aku baru sekali ini bertemu dengan laki-laki yang mengaku bernama Rio ini. Tapi entah kenapa, semua keluhanku tadi mengalir dengan lancar di hadapan dia. Jangan-jangan, dia malaikat yang diutus Tuhan untuk mencegahku melompat? Apakah ini tandanya Tuhan masih sayang padaku? Terdorong rasa penasaran, aku melirik ke punggungnya. Siapa tahu ada sayap disana.

“Ntar ya…” katanya tiba-tiba. Sedikit kaget, dan bingung, aku bertanya.

“Sebentar apaan?”

“Ntar lagi gua kelar, terus ntar gua turun, pulang… Baru lo lompat. Terjun. Ke bawah sana.”

“Hah?”

Rio menghentikan gerakan tangannya di touch pad netbooknya, dan memandangku.
“Lah, katanya tadi mau bunuh diri. Kan gua udah bilang, lo kalo mau bunuh diri ntar aja, kalo gua udah jauh dari sini…”

“Ah, sialan lo…” tukasku kesal.

Rio mengangkat alis. “Eh, jadi… ceritanya lo gak jadi bunuh diri nih? Bagus lah kalo gitu…”

Aku menarik nafas dan menghembuskannya keras-keras. “Tauk lah! Bingung gua…”

“Masih pengen bunuh diri? Kenapa lagi?”

“Nggak sih, cuma…gua ngerasa kalo gua adalah orang paling sial di dunia ini..” jawabku perlahan. Diam-diam berharap mendapatkan simpati darinya.

Mendengar kata-kataku tadi, Rio malah berdecak kesal. “Lo gak sehebat itu kali…!”

Apa? Tanggapan macam apa itu?

“Hebat apaan? Apa hebatnya jadi orang sial hah?” seruku, semakin kesal. Kesal karena merasa diremehkan, sekaligus mungkin..kesal karena untuk yang kesekian kali, gagal mendapatkan simpati darinya.

Mendengar nada tinggi dalam suaraku, Rio menatapku. “Lo tau ga, ada lebih dari 6 milyar manusia di dunia ini. Jadi untuk bisa jadi orang paling sial nomer satu di dunia, lo mesti bersaing dengan 6 milyar orang lain. Lo yakin kesialan lo sehebat itu sampai bisa mengalahkan orang sebanyak itu?”

Aku ternganga mendengar jawabannya. “Logika lo aneh!”.

“Aneh, tapi bener kan?” tantangnya.

Aku melengos, membuang muka . Nafasku sedikit tersengal akibat perdebatan aneh ini. Dalam hati aku mengakui, dia benar. Dan aku benci kalau dia benar. Karena aku merasa terkalahkan.

“Lo gak tau sih rasanya jadi gua…” sahutku defensif.

“Emang…” jawabnya dengan santai. Jawaban yang membuatku kembali penasaran.

Belum sempat aku menanggapinya, Rio sudah menyambung kata-katanya. “Gua gak tau rasanya jadi elo, sama seperti lo gak tau rasanya jadi orang tua lo. Lo gak tau kan rasanya mendengar seseorang yang sebenernya lo sayangin menolak apa yang lo pikir adalah yang paling baik?”. Rio berhenti sesaat untuk menarik nafas, lalu menyambung kembali. “Lo juga pasti bakal bilang kalo kakak lo ga bakal ngerti rasanya jadi elo yang selalu dibanding-bandingin sama dia. Sama seperti lo yang juga gak bakal ngerti, bahwa mungkin kakak elo juga sering ngerasa capek kalo harus dijadikan panutan terus-terusan?”

Aku mati kutu mendengar kata-katanya. Karena aku tahu, bahwa mungkin Rio benar. Oke, dia memang benar. Kan? Aku sudah bilang, aku benci kalau dia benar.

“Lo tau kampus ini darimana?” tanyanya tiba-tiba.

“Hah? Oh. Kakak gua kan kuliahnya disini….”

“Oh, sealmamater sama gua dong. Gua juga kuliahnya disini…”

“Oh gitu? Fakultas apa?”

“Hukum…” sahutnya pendek, lalu bertanya lagi. “Jadi lo sering maen kesini?”
“Gak juga sih. Eh, ya..gitu. Kadang-kadang. Kadang-kadang Kak Angel suka minta dijemput sama gua.”

“Tau Mang Ony? Yang suka jaga parkir di gerbang depan?”

Aku mengerutkan kening. Sekilas wajah ramah yang sering kali kulewati di gerbang depan kalau aku harus menjemput Kak Angel muncul di benakku. “Umm… Tau kali ya…Mungkin kalo liat mukanya gua tau…”. Jawabku sedikit ragu. Dalam hati, aku heran sendiri. Kenapa si Rio yang ternyata mahasiswa Hukum ini mudah sekali mengalihkan topik pembicaraan?

“Lo tau gak kalo dia punya anak yang autis?”

Aku membelalakkan mata. Lalu menggeleng cepat.

“Nah, jadi lo juga gak tau rasanya kan gimana jadi Mang Ony, yang penghasilannya cuma dari jaga parkir, padahal dia masih punya tanggungan dua anak, salah satunya autis pula. Sementara istrinya kerja jadi TKI di Malaysia, padahal ibunya yang lumpuh karena stroke itu tinggal serumah sama dia …”

Kini tidak hanya mataku yang membelalak. Mulutku pun membuka semakin lebar. “Kasian ya…” desisku perlahan.

“Lebih kasian mana sama lo yang tadi ngerasa kalo lo adalah orang paling sial sedunia?”

Deuh. Kenapa sih anak sialan ini paling jago membuatku tak berkutik dengan kata-katanya yang terlalu tepat pada sasaran?

Aku memutuskan untuk tidak menjawab. Hanya mampu menunduk, memandangi ujung sepatu putihku. Tiba-tiba aku ingat, sepatu ini dari Mama. Yang dia berikan tanpa alasan apa-apa, seminggu setelah aku iseng menunjuk sepatu itu di etelase saat kami berjalan-jalan di mall. Dalam sekejap, perasaan rindu pada Mama membuncah di dadaku. Menyesakkan, mengiring tangis yang tiba-tiba tercekat di tenggorokanku.

Rio pun sepertinya tidak menunggu jawabanku. “Tapi yang pasti, dengan nasibnya, yang elo tahu jawabannya adalah lebih kasian daripada elo, Mang Ony gak pernah terpikir untuk loncat dari gedung. Atau minum baygon. Atau gantung diri di pohon beringin…” katanya sambil menutup layar netbooknya.

Sungguh, aku betul-betul benci kalau dia benar. Membuatku semakin tersudut dalam kesadaran bahwa aku memang salah. Dan dia benar.

Sesaat hening di antara kami. Dia yang sibuk membereskan netbooknya untuk dimasukkan ke dalam ransel tadi, dan aku yang tenggelam dalam lamunanku sendiri.

“Eh, bintangnya udah mulai muncul….” Ucapannya menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangkat wajah untuk memandang langit yang mulai kelam. Langit Jakarta mungkin telah banyak diracuni polusi, tapi toh, sejumlah bintang tetap nampak berkerlip ceria.
Aku tidak sanggup berkata-kata. Entah kenapa, dari atas sini, langit terlihat begitu luas, tak berbatas.

“Langitnya cantik ya?’ katanya perlahan.

Aku tidak menyahut, aku malah berdiri, dan berjalan perlahan mendekati ujung atap gedung itu. Dua langkah dari tepian atap, aku berhenti. Memejamkan mata, menikmati setiap tarikan nafas yang entah mengapa, kini terasa begitu lega. Kini sesak itu tak lagi berupa siksa, melainkan hanya rasa rindu. Pada Mama, Papa, dan Kak Angel. Pada Ify, Zahra, dan Acha, sahabat-sahabatku.

Ada bening yang perlahan terbit dari sudut mataku, perlahan menyusuri wajahku yang terasa sejuk oleh hembusan angin. Aku berbalik, Rio masih berada di tempatnya tadi. Kini dia telah berdiri, ranselnya tergantung di pundak kirinya, sementara tangan kanannya masih memegangi kamera. Ada senyum tipis di wajahnya.

“Rio…” panggilku. Dia hanya mengangkat alis.

“Makasih…” kataku perlahan.

Rio mengangguk kecil. “Gua pulang dulu…” ujarnya sambil membenahi tali ransel di pundaknya. Aku mengangguk, membalas senyumnya.

Dia berbalik, melangkah pergi. Aku memandangi punggungnya bergerak menjauh bersama langkahnya. Belum sampai lima langkah dia bergerak, Rio berhenti. Dia lalu berbalik.

“Shilla!”

“Ya?”

“Lo dianugerahi Tuhan kehidupan di dunia ini pasti karena untuk suatu alasan. Saat ini lo mungkin belum tahu pasti apa alasan itu. Tapi yang pasti, bukan untuk mengakhiri hidup elo dengan cara yang sok dramatis kayak loncat dari atap gedung ini…” katanya, diiringi sebuah senyuman. “Lo akan bisa mendapatkan apa yang terbaik dalam hidup ini, jika lo berusaha melakukan yang terbaik yang bisa elo lakukan.”

Aku tertawa kecil.

“Thanks…” jawabku, yang dibalasnya dengan sebuah anggukan. Aku terus memandangi dirinya saat dia berbalik, melangkah pergi, hingga akhirnya menghilang di balik pintu menuju tangga.

Aku mendesah, memeluk tubuhku sendiri dengan kedua tangan, menikmati damainya angin yang terasa halus menyelimuti diriku. Aku mendongak, dan tersenyum. Aku yakin, Tuhan pun di atas sana sedang balas tersenyum ke arahku.

“Terima kasih Tuhan…” bisikku perlahan.

Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Aku berjalan dengan langkah ringan ke arah pintu yang tadi kulewati untuk sampai kesini. Aku ingin pulang. Aku ingin memeluk Mama. Aku ingin menyapa Papa. Aku ingin bercerita pada Kak Angel. Aku ingin menelepon sahabat-sahabatku.

Aku.. ingin minta maaf pada mereka semua. Dan memberi tahu mereka bahwa aku menyayangi mereka., Aku bukanlah orang yang paling sial sedunia. Sebaliknya, aku adalah orang yang paling beruntung sedunia, karena aku masih memiliki mereka. Mama, Papa, Kak Angel, dan sahabat-sahabatku.

***
Sedikit ragu, aku melangkahkan kaki menaiki tangga menuju pintu masuk galeri ini. Aku sendiri sebenarnya tidak tahu pasti kenapa akhirnya aku memutuskan datang ke sini. Mungkin lebih karena terdorong rasa penasaran. Tadi malam, Kak Angel menyodorkan sebuah amplop putih padaku, sambil bercerita, bahwa siangnya ada yang mencegat dirinya di depan pintu masuk Fakultas Kedokteran. Laki-laki yang mencegatnya itu bertanya apakah benar dia yang bernama Angel. Begitu Kak Angel mengiyakan, laki-laki itu menyerahakan sebuah amplop putih polos. Diiringi pesan singkat, agar Angel menyerahkan amplop itu padaku. Belum sempat Kak Angel bertanya lebih banyak, laki-laki itu sudah pergi begitu saja. Kak Angel pun sama bingungnya dengan aku ketika aku membuka amplop itu dan menemukan sebuah brosur dari kertas mengkilat, berisikan informasi mengenai pameran fotografi.

Jadi, disinilah aku sekarang. Di galeri seni seperti yang ada di brosur yang sekarang ada di genggamanku.

“Silakan Mbak…” sapaan ramah seorang gadis penerima tamu menyambut kehadiranku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kecil, dan melangkahkan kaki masuk.

Begitu mengedarkan pandangan, aku terkagum-kagum sendiri. Brosur yang kudapat menyatakan bahwa pameran itu merupakan pameran hasil karya mahasiswa, tapi hasil karya yang dipajang semuanya jelas merupakan hasil seni fotografi yang patut diperhitungkan.

Perlahan aku menyusuri galeri itu, ikut berbaur dengan pengunjung lain yang menikmati setiap foto yang dipajang. Terkadang aku berhenti sejenak, membaca keterangan yang ditempel di bawah setiap foto. Beberapa keterangan teknis yang tidak terlalu aku pahami, dan nama si fotografer.

Langkahku membawaku hingga ke salah satu foto yang terletak nyaris di ujung barisan. Begitu aku memandang foto itu, nafasku tercekat.

Sebuah foto yang indah. Didominasi pemandangan langit kelam, dengan sejumlah titik cahaya di langit itu. Di pojok kanan, berdiri seorang gadis, agak menyamping, dengan rambut yang terurai halus hingga melewati bahu. Gadis itu tengah sedikit menengadah, memandang langit yang terlihat begitu luas. Wajah gadis itu tidak nampak jelas. Tapi aku bisa mengenali gadis itu. Aku bisa mengenali sepatu putih yang dikenakan gadis itu.Aku bisa mengenali dress kuning lembut yang dikenakan gadis itu, dengan ujung yang nampak sedikit berkibar oleh angin. Aku bisa mengenali diriku sendiri di foto itu. Tanpa sadar, aku menangkupkan sebelah tangan di bibir.

Pandanganku jatuh pada tulisan berwarna putih di sudut kiri foto itu. Nampak cukup kontras dengan warna abu-abu tua semen yang aku ingat adalah tempatku berpijak di atap gedung itu. Perlahan, aku membaca kalimat yang terulis disana.

Meskipun bintang mungkin telah lelah menari
Masih ada senja yang bisa dinanti
Sebagai alasan untuk tetap bertahan…

Rasa haru menyelimutiku. Mataku terasa panas, dengan degupan jantung yang tiba-tiba terasa tidak beraturan. Tiba-tiba saja kenangan akan kejadian sebulan yang lalu itu berputar kembali di benakku. Saat-saat dimana aku merasa hidup tak lagi berarti. Saat aku nyaris mengambil sebuah keputusan bodoh. Aku membungkuk untuk membaca nama fotografer dari foto ini.

Mario Stevano. Hmm.. mungkinkah Rio berasal dari kata Mario itu?

Aku nyaris tertawa sendiri, mengingat betapa terkejutnya diriku ketika mendapati ada orang lain di atap gedung itu. Sekarang aku jadi merasa geli, begitu ingat betapa kesalnya aku waktu itu, ketika mendapati bahwa bukannya bersimpati, Rio malah bersikap tidak peduli. Tapi justru Rio dan gayanya yang tidak peduli itu, dengan kata-katanya yang simpel, yang justru membuat aku sadar bahwa aku punya lebih banyak hal untuk disyukuri daripada untuk disesali.

“Jadi akhirnya lo gak jadi loncat?”

Suara tadi mengejutkanku. Aku menegakkan tubuh, dengan malu menoleh ke arah pemilik suara itu. Rio menatapku dengan sebuah senyuman kecil, ada kilatan jahil di matanya. Entah kenapa, melihat kembali wajah itu membuat degupan jantungku seperti menari.

“Nggak, nggak jadi…” jawabku pelan, sambil merasakan aliran panas yang merambat dengan cepat dari telinga dan menyebar hingga ke seluruh wajahku.

“Kenapa?”

Aku tertawa kecil, lalu menyahut, “Gua masih pengen liat pelangi, dan kalo beruntung, pengen liat bintang jatuh dari atap gedung…”

Rio ikut tertawa. "Gua besok sore mau motret lagi. Mau motret sunset di pantai. Who knows ada bintang jatuh. Mau ikut?”

Aku mengangguk. “Kalaupun belum ada bintang jatuh, masih ada ribuan alasan kan buat gua untuk menunggu bintang jatuh datang?”

***
But when the night is falling
And you cannot find the light
If you feel your dream is dying
Hold tight
You've got the music in you
Don't let go
You've got the music in you
One dance left
This world is gonna pull through
Don't give up
You've got a reason to live
Can't forget you only get what you give
(You Get What You Give - New Radical)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar